Ketika harus memilih . . .
Menurut saya, gabungan antara kebahagiaan spiritual dan mental/psikologis merupakan kebahagiaan yang utuh.
Pada usia yang menurut saya relatif muda, sekitar 18 tahun, saya harus dihadapkan pada situasi dimana saya harus memilih. Bukan merupakan keputusan yang mudah untuk memilih. Keduanya memberikan saya kebahagiaan. Jika saja bisa disatukan, tentunya kebahagiaan saya akan menjadi sangat lengkap. Memang kebahagiaan bukan ditimbulkan oleh pihak eksternal, namun saya harus mengakui bahwa cara saya 'menilai' pihak eksternal-lah yang akan menentukan kebahagiaan saya. Maka dalam memutuskan kebahagiaan tersebut, saya harus melibatkan kognitif saya disamping emosi.
dia adalah salah seorang yang hingga kini masih saya nilai sebagai teman yang mampu mencukupi saya, bukan secara fisik/materi, tetapi secara mental/psikologis. dia adalah sosok yang pintar dan memiliki pengetahuan yang sangat luas, terutama untuk bidang seni dan psikologi. Kedua bidang tersebut merupakan bidang yang sangat saya cintai. Maka dengan penguasaannya pada bidang tersebut, dia mampu menginspirasi dan membuat saya lebih termotivasi untuk banyak belajar. Yaa, mungkin karena adanya kesadaran akan keterbatasan pengetahuan dan keinginan untuk lebih banyak berdiskusi. Dengan demikian, dia mampu memberi 'makan' psikologis/mental saya.
Dia, sosok yang sangat penting bagi saya, Dia mampu mencukupi saya secara spiritual. Sangat tidak terbatantahkan bahwa Dia mampu membuat saya merasa bahagia.
Jika saya memilih Dia, maka saya harus kembali menanti sosok yang sekiranya mampu memberi saya kebahagiaan secara mental/psikologis dimana sosok ini sangat sulit ditemukan. Tetapi jika saya memilih dia, maka saya harus mengorbankan kebahagiaan spiritual saya dimana hal ini juga akan sangat penting bagi saya dalam melanjutkan kehidupan.
Harus memilih diantaranya, merupakan pilihan yang berat, meninggalkan salah satunya akan menyakitkan saya. Tetapi jika saya memilih keduanya, saya merasa bahwa saya akan menemui kesulitan besar untuk mengaktualisasikan diri saya. Masalah mungkin akan berkutat pada kedua hal tersebut dan masalah yang lain mungkin akan tertumpuk rapih pada lemari pikiran bawah sadar saya. Dan yang paling penting kebahagiaan saya tidaklah utuh.
Tetapi saat saya berusia 18 tahun tersebut, saya sudah mengambil keputusan. Saya memilih Dia dan mengorbankan dia. Saya sangat tidak menyesal pernah memilih dia untuk bersama dengan saya dan saya bahagia, sangat bahagia. Dia memberikan banyak inspirasi dan nilai-nilai hidup yang saya internalisasikan.
Saya bahagia dengan dia yang sekarang, dia masih mau membagi pengetahuan dan dia masih peduli dengan saya. Setidaknya, kebahagiaan mental/psikologis itu, masih bisa saya rasakan.
Kita semua ingin merasakan kebahagiaan yang utuh, demikian juga dengan saya.