dan pada akhirnya ...

Posted by Sofia On Monday, July 23, 2012 0 comments


Beberapa waktu terakhir ini sempat terlintas kalimat mengenai cinta: “kenapa harus merasa tersakiti/sedih/emosi negatif lain serta merasa menjadi ‘korban’, sementara cinta merupakan emosi positif? Seharusnya hanya emosi positif yang terpancar, seperti senang, nyaman, bahagia, ketika kita merasa bahwa kita layak menggunakan kata ‘cinta’  atas apa yang kita rasakan. Apakah karena rasa cinta yang kita miliki merupakan cinta yang bersyarat, cinta yang membutuhkan alasan, cinta yang ketulusannya perlu dipertanyakan, atau karena sebab lain yang tidak bisa dikontrol oleh manusia?”
Kemudian saya pun teringat kisah hidup saya yang belum lama terjadi:
“kurang lebih satu bulan lalu kami kembali bertemu setelah kami memutuskan untuk berpisah sekitar 5 tahun lalu. Berawal dari kisah hidup teman, saya mengajak dia untuk menemani saya berempati terhadap teman kami tersebut. Ia menyetujui dan bertemulah kami. Banyak cerita yang kami bagi sepanjang siang hingga sore. Ketika malam tiba, saya ingin sekali menyampaikan cerita yang sebelumnya saya simpan sendiri meski cerita ini berhubungan dengannya. Kami saling bertukar cerita dan pada akhirnya ia meminta izin kepada saya untuk melakukan sebuah sentuhan. Saya mengizinkannya dengan bahasa tubuh saya dan sejak saat itu saya merasa kami kembali mengizinkan diri kami untuk mengekspresikan rasa dan pikiran yang terjeda selama kami tidak bertemu. Sungguh pedih saya rasakan, ketika saya menyadari bahwa sentuhan tersebut mungkin merupakan sentuhan terakhir yang dapat saya rasakan, sebuah sentuhan hangat. Hari berganti dan saya masih merasakan kepedihan yang sama. Tak terduga oleh saya bahwa ia akan menyapa saya kembali. Rasa senang, pedih, tragis, ironis, bercampur dalam diri saya. Setelah hari itu, kami saling menyapa meski saya mengontrol rasa yang saya miliki semampu saya.  Dari sekian rasa, rasa takut yang tertinggal dalam hati ini. Bukan ketulusan lagi yang saya takuti darinya, tetapi takut terhadap masa depan dari hubungan yang mungkin secara tidak kami sadari kembali terjalin. Kekhawatiran saya ini beberapa kali saya utarakan kepadanya, meski tanggapannya justru membuat saya semakin takut bahwa hubungan ini memang tidak memiliki masa depan dan mungkin menjalaninya hanyalah sebuah jalan untuk mengisi kekosongan hingga pada akhirnya waktu tak lagi mengizinkan kami untuk bersama. Setiap kami berpisah setelah bertemu, saya selalu memprediksi bahwa mungkin pertemuan ini merupakan akhir kisah dan rasa ini pun selalu diiringi ketidaknyamanan yang besar saat memikirkannya. Tetapi ternyata, dia masih juga datang menyapa.”
Terkadang saya merasa bersalah atas terjadinya kisah ini. Jika saya tidak mengungkapkan kisah yang saya pendam, mungkin cerita ini tidak perlu ada dan kami akan tetap menjadi teman baik. Dengan berjalannya kembali kisah ini, maka kami telah merusak prinsip yang kami punya dan kami harus siap dengan perpisahan yang mungkin akan kembali terjadi. Berencana akan masa depan yang indah pun, jujur, saya tidak berani. Ingin sekali saya memikirkan masa depan yang tidak hanya melibatkan hubungan ini tetapi juga diri saya dan dirinya. Tetapi, saya belum sanggup, jika pada akhirnya akan ada pihak yang harus tersakiti dari hubungan ini, ia terutama, karena saya tidak bisa mengontrol dan mengetahui apa yang ia rasakan dan pikirkan.
Ingin rasanya ada sesuatu yang jelas dari hubungan ini, bukan status, tetapi lebih dari itu. Saya khawatir kami hanya menjalani sesuatu yang tidak ada tujuan dan bisa membuat kami berhenti sejenak dalam menjalani kehidupan karena ada arah yang hilang pada salah satu aspek dalam kehidupan kami. Dan, tidak memiliki arah yang jelas merupakan hal yang sangat saya hindari dan tidak pernah terpikirkan akan terjadi pada diri saya. Cinta merupakan rasa yang indah dan hidup ini singkat dan hanya sekali, namun mengapa rasanya bergitu sulit.
Sudah sekian hari kami tidak berkomunikasi. Jika ini merupakan akhir, oleh karena masing-masing dari kami berhenti untuk terlibat dalam hubungan ini, maka di satu sisi, ada sebuah kelegaan semu karena saya merasa kami (saya) tidak perlu menyatakan dan mengekspresikan kepedihan kami di depan masing-masing dari kami karena kebersamaan kami yang terenggut. Di sisi lain, kehampaan hadir disertai kepedihan karena ternyata kisah kami (saya) sungguh tragis. Cinta yang seharusnya indah dan hidup singkat yang hanya dapat dijalani satu kali harus direlakan untuk pergi. Intinya, kepedihan akan terasa (kembali, bahkan jauh lebih parah), perbedaannya hanyalah pada pengekspresiannya yang apakah akan diketahui olehnya atau tidak.
Dan pada akhirnya, saya tidak bisa memaksanya untuk tetap bersama dan memilih saya serta berkorban demi kebahagiaan saya. Ia adalah manusia yang berhak untuk menjalani kehidupan yang diinginkannya dan memilih jalan yang ingin ia tempuh.
Meski hingga kini, saya pikir, ia masih memilih untuk tetap bersama saya. Apapun yang terjadi, setidaknya saya pernah merasakan kebahagiaan saat saya bersamanya.
Tuhan, hanya Engkau yang tahu bagaimana dan kapan kisah ini akan berujung. Kami layak bahagia, Tuhan, bersama atau dengan cara kami masing-masing.