Beberapa waktu terakhir ini sempat terlintas kalimat
mengenai cinta: “kenapa harus merasa tersakiti/sedih/emosi negatif lain serta
merasa menjadi ‘korban’, sementara cinta merupakan emosi positif? Seharusnya
hanya emosi positif yang terpancar, seperti senang, nyaman, bahagia, ketika
kita merasa bahwa kita layak menggunakan kata ‘cinta’ atas apa yang kita rasakan. Apakah karena
rasa cinta yang kita miliki merupakan cinta yang bersyarat, cinta yang
membutuhkan alasan, cinta yang ketulusannya perlu dipertanyakan, atau karena
sebab lain yang tidak bisa dikontrol oleh manusia?”
Kemudian saya pun teringat kisah hidup saya yang belum
lama terjadi:
“kurang lebih satu bulan lalu kami kembali bertemu
setelah kami memutuskan untuk berpisah sekitar 5 tahun lalu. Berawal dari kisah
hidup teman, saya mengajak dia untuk menemani saya berempati terhadap teman
kami tersebut. Ia menyetujui dan bertemulah kami. Banyak cerita yang kami bagi
sepanjang siang hingga sore. Ketika malam tiba, saya ingin sekali menyampaikan
cerita yang sebelumnya saya simpan sendiri meski cerita ini berhubungan
dengannya. Kami saling bertukar cerita dan pada akhirnya ia meminta izin kepada
saya untuk melakukan sebuah sentuhan. Saya mengizinkannya dengan bahasa tubuh
saya dan sejak saat itu saya merasa kami kembali mengizinkan diri kami untuk
mengekspresikan rasa dan pikiran yang terjeda selama kami tidak bertemu.
Sungguh pedih saya rasakan, ketika saya menyadari bahwa sentuhan tersebut mungkin
merupakan sentuhan terakhir yang dapat saya rasakan, sebuah sentuhan hangat.
Hari berganti dan saya masih merasakan kepedihan yang sama. Tak terduga oleh
saya bahwa ia akan menyapa saya kembali. Rasa senang, pedih, tragis, ironis,
bercampur dalam diri saya. Setelah hari itu, kami saling menyapa meski saya
mengontrol rasa yang saya miliki semampu saya.
Dari sekian rasa, rasa takut yang tertinggal dalam hati ini. Bukan
ketulusan lagi yang saya takuti darinya, tetapi takut terhadap masa depan dari
hubungan yang mungkin secara tidak kami sadari kembali terjalin. Kekhawatiran
saya ini beberapa kali saya utarakan kepadanya, meski tanggapannya justru
membuat saya semakin takut bahwa hubungan ini memang tidak memiliki masa depan
dan mungkin menjalaninya hanyalah sebuah jalan untuk mengisi kekosongan hingga pada akhirnya waktu tak lagi mengizinkan kami untuk bersama. Setiap
kami berpisah setelah bertemu, saya selalu memprediksi bahwa mungkin pertemuan
ini merupakan akhir kisah dan rasa ini pun selalu diiringi ketidaknyamanan yang
besar saat memikirkannya. Tetapi ternyata, dia masih juga datang menyapa.”
Terkadang saya merasa bersalah atas terjadinya kisah ini. Jika saya tidak mengungkapkan kisah yang saya pendam, mungkin cerita
ini tidak perlu ada dan kami akan tetap menjadi teman baik. Dengan berjalannya
kembali kisah ini, maka kami telah merusak prinsip yang kami punya dan kami
harus siap dengan perpisahan yang mungkin akan kembali terjadi. Berencana akan
masa depan yang indah pun, jujur, saya tidak berani. Ingin sekali saya
memikirkan masa depan yang tidak hanya melibatkan hubungan ini tetapi juga diri
saya dan dirinya. Tetapi, saya belum sanggup, jika pada akhirnya akan ada pihak
yang harus tersakiti dari hubungan ini, ia terutama, karena saya tidak bisa
mengontrol dan mengetahui apa yang ia rasakan dan pikirkan.
Ingin rasanya ada sesuatu yang jelas dari hubungan
ini, bukan status, tetapi lebih dari itu. Saya khawatir kami hanya menjalani
sesuatu yang tidak ada tujuan dan bisa membuat kami berhenti sejenak dalam
menjalani kehidupan karena ada arah yang hilang pada salah satu aspek dalam kehidupan
kami. Dan, tidak memiliki arah yang jelas merupakan hal yang sangat saya
hindari dan tidak pernah terpikirkan akan terjadi pada diri saya. Cinta merupakan
rasa yang indah dan hidup ini singkat dan hanya sekali, namun mengapa rasanya
bergitu sulit.
Sudah sekian hari kami tidak berkomunikasi. Jika ini
merupakan akhir, oleh karena masing-masing dari kami berhenti untuk terlibat dalam hubungan ini, maka di satu sisi, ada sebuah kelegaan semu karena saya merasa
kami (saya) tidak perlu menyatakan dan mengekspresikan kepedihan kami di depan
masing-masing dari kami karena kebersamaan kami yang terenggut. Di sisi
lain, kehampaan hadir disertai kepedihan karena ternyata kisah kami (saya)
sungguh tragis. Cinta yang seharusnya indah dan hidup singkat yang hanya dapat
dijalani satu kali harus direlakan untuk pergi. Intinya, kepedihan akan terasa
(kembali, bahkan jauh lebih parah), perbedaannya hanyalah pada
pengekspresiannya yang apakah akan diketahui olehnya atau tidak.
Dan pada
akhirnya, saya tidak bisa memaksanya untuk tetap bersama dan
memilih saya serta berkorban demi kebahagiaan saya. Ia adalah manusia yang
berhak untuk menjalani kehidupan yang diinginkannya dan memilih jalan yang
ingin ia tempuh.
Meski hingga kini, saya pikir, ia masih memilih untuk
tetap bersama saya. Apapun yang terjadi, setidaknya saya pernah merasakan
kebahagiaan saat saya bersamanya.
Tuhan, hanya Engkau yang tahu bagaimana dan kapan
kisah ini akan berujung. Kami layak
bahagia, Tuhan, bersama atau dengan cara kami masing-masing.
0 comments:
Post a Comment